Sejak pukul 03.20 WIB dini hari tadi, gunung ini kembali menggeliat dengan mengeluarkan lava pijar dan titik api diam.
Seperti dilaporkan reporter SCTV Raymond Kurniawan, lava pijar dan titik api diam tersebut sangat jelas terlihat karena cuaca cerah.
"Tak ada yang menghalangi pandangan meski dari jarak 20 kilometer," ujar Raymond yang berada di lokasi pengungsian di Desa Hargobinangun, Sleman, Yogyakarta, Selasa (2 /11) pagi.
Lelehan lava pijar ini mengarah ke tenggara dan selatan melewati Kali Gendol dan Kali Sendowo.
Berbeda dari sebelumnya, aktivitas Merapi pagi ini tidak menimbulkan kepanikan karena lelehan lava pijar tidak disertai dengan dentuman.
Kendati demikian, bencana letusan Merapi tetap meninggalkan trauma dan duka mendalam bagi para pengungsi, khususnya anak-anak.
Di tengah ketidakpastian kapan letusan akan berhenti, anak-anak korban Merapi mulai dihinggapi berbagai penyakit.
Lihat saja Anggi Dwi Fitri yang terus menangis dalam gendongan neneknya.
Suara tangis bocah berusia satu tahun ini jelas menggambarkan penderitaan yang ia alami akibat letusan Gunung Merapi.
Anggi yang divonis menderita infeksi saluran pernapasan hanyalah satu dari ratusan anak yang mengalami gangguan kesehatan sejak pertama Merapi memuntahkan debu.
Di bagian lain pengungsian, tepatnya di daerah Cangkringan, Sleman, anak-anak masih sempat bernyanyi dan bermain, sesaat melupakan trauma yang mereka alami.
Adalah para guru di Sleman yang menyadari pentingnya penanganan khusus bagi anak- anak korban Merapi untuk keluar dari trauma.
Tentu tidak hanya aksi para guru yang diharapkan anak-anak ini untuk menyembuhkan luka di pikiran dan di hati mereka.
Penanganan jangka panjang, terutama dari pemerintah, juga patut dinanti. (ADO)
Tim Liputan 6 SCTV 02 /11 / 2010 06 :12 Liputan6. com
: dindra "ANKER"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar